Berkomunitas di Tanah Rantau

Kilas balik ke masa SMA dulu (iya, tahu, decades ago), kita mengenal istilah "komunitas" untuk pertama kali. Di pelajaran biologi--semoga kamu masih ingat, saya juga googling dulu, kok, supaya enggak salah--komunitas berada satu tingkat di atas populasi. Di dalam satu komunitas ada interaksi antarpopulasi yang hidup pada satu waktu dan tinggal di wilayah tertentu. Merujuk ke KBBI, komunitas diartikan sebagai "kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu".

Kenapa repot mencari definisi? Karena pada kenyataannya, di era digital seperti sekarang komunitas tidak lagi dibatasi oleh wilayah fisik. Kita bisa bergabung di satu komunitas tanpa kesamaan wilayah tempat tinggal, kecuali jika pengertian wilayah sudah sedemikian meluas hingga ke seluruh daratan yang ada di peta. Pengertian komunitas pun bergeser menjadi “kelompok sosial atau sekumpulan orang yang memiliki ketertarikan yang sama” saja, tanpa tambahan “habitat yang sama”.

Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga memungkinkan anggota komunitas untuk hanya berkumpul di ruang virtual, tanpa perlu bertemu fisik. Malah sering kita merasa sangat akrab dengan seseorang padahal hanya mengetahui nama, belum pernah bertemu muka. Syukur jika dia memasang foto profil di Whatsapp. Jika tidak, ya kita hanya bisa menduga dan bermain imajinasi belaka. Saya pernah terkecoh saat mendengarkan rekaman video seorang teman. Suaranya berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Sampai-sampai saya sulit untuk mengubah imajinasi saya sendiri. Aneh, ya?

Kedua poin di atas dimiliki oleh komunitas ITB Motherhood, Mamah Gajah Bercerita, dan Mamah Gajah Ngeblog. Anggotanya tersebar di seluruh dunia dan berbasis grup Facebook atau Whatsapp. Meski demikian, bukan berarti komunitas ini tidak solid, lo. Saya pernah menuangkannya dalam sebuah tulisan. Namun, kali ini saya ingin bercerita tentang komunitas lain yang juga saya cintai, yang justru terbentuk karena kesamaan wilayah tempat tinggal, sesuai pengertian awal tentang “komunitas”.



Keluarga Muslim Delft (KMD) dan Simpul Muslimah Delft

Sebagai anak rantau, bukan hal aneh kami mencari teman sebangsa dan setanah air. Rasanya nyambung aja gitu saat berinteraksi dengan sesama orang Indonesia. Terlebih lagi kami tidak perlu susah-susah memikirkan ketepatan kata atau kalimat bahasa asing (Inggris atau Belanda) dalam berekspresi dan menyampaikan pesan. Ada kesamaan identitas yang merekatkan kami.

Identitas sebagai muslim Indonesialah yang akhirnya membawa kami bergabung di Keluarga Muslim Delft (KMD). Di halaman Facebook-nya KMD menjelaskan dirinya sebagai “paguyuban pelajar dan warga muslim yang bertempat di Delft, Belanda”. Menurut sejarah, perkumpulan muslim Indonesia di Delft pertama kali berdiri pada awal era 1990-an dengan nama Komunitas Islam Delft (KID). Setelah sempat vakum beberapa tahun, KID bangkit kembali dan berganti nama menjadi KMD hingga sekarang. Meski diinisiasi oleh mahasiswa, warga KMD bukan hanya pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di dua universitas di Delft, melainkan juga warga muslim Indonesia yang berdomisili di Delft dan kota-kota sekitarnya.


Akun Instagram KMD


Seperti halnya komunitas pada umumnya, KMD memiliki program rutin, seperti KMD Mengaji (tahsin putra), Salam Delft (kajian dua bulanan), berbagai kegiatan di bulan Ramadan, penyelenggaraan salat Idulfitri dan Iduladha, dan barbecue. Selain itu, ada program insidental, seperti Simpul putra (kajian khusus ikhwan), serta pengumpulan donasi bencana dan donasi pembangunan masjid. KMD juga membuka infak rutin untuk mewujudkan mimpi menyewa ruangan kantor sendiri.


Acara Salam Delft dihadiri warga KMD. (Sumber: Facebook KMD)

Tentu semua kegiatan dilaksanakan secara luring sebelum pandemi menyerang. Selama pandemi, kegiatan yang tidak bisa dialihkan ke format daring jadi ditiadakan. Kan sulit bakar-bakaran virtual. Hehehe …. Salat Idulfitri pun diganti menjadi halalbihalal online. Padahal sebelumnya hari raya adalah momen akbar untuk berkumpul. Bukan hanya warga KMD, lo, beberapa muslim dari negara lain turut bergabung untuk salat. Rasa bahagia bercampur dengan haru setiap kali salat hari raya tiba. Bisa mengagungkan nama Allah bersama-sama menjadi suatu kemewahan di negara minoritas muslim seperti Belanda.

Yang berbeda dari pelaksanaan salat hari raya di tanah air, setelah salat selesai kami bersalam-salaman melingkar dan … makan bersama! Hidangan lengkap, mulai dari nasi, lauk, sayur, buah, hingga kue, minuman, dan kerupuk, bisa dinikmati oleh jamaah salat. Hebatnya semua adalah sumbangan dari ibu-ibu yang tergabung di Simpul Muslimah Delft, bagian dari KMD khusus untuk akhwat. Ibu-ibu yang bersedia memasak dan menyumbang makanan bisa mengisi daftar yang diberikan panitia. Biasanya menunya sudah ditentukan sehingga ibu-ibu tinggal mengisi di bagian yang mereka kehendaki. Bagi yang tidak bisa menyumbang makanan, tidak perlu khawatir. Mereka bisa berpartisipasi dalam bentuk uang. Sistem gotong royong ini juga berlaku untuk acara makan bersama setelah Salam Delft dan barbecue. Pokoknya di mana ada acara ngumpul-ngumpul, di situ pula kita bisa membawa hasil karya dari dapur kita.


Acara makan bersama setelah kajian selesai. (Sumber: Facebook KMD)

Berbekal kebiasaan ini, sudah tiga tahun Simpul Muslimah mengadakan kegiatan berbagi takjil Ramadan yang diberi nama KMD Berbagi. Tidak hanya soal masak, Simpul Muslimah juga memenuhi kebutuhan ibu-ibu dalam mencari ilmu dengan mengadakan tahsin muslimah, kajian khusus akhwat, dan yang paling baru, Instagram live. Selain itu Simpul Muslimah juga menyelenggarakan TPA Tulip dan kegiatan Ramadan untuk anak-anak.

KMD seperti keluarga bagi kami. Keguyubannya sangat kental. Rasanya saya tidak ingin melewatkan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KMD. Seiring dengan melonggarnya peraturan terkait Covid-19 di Belanda, KMD akhirnya mengadakan Salam Delft secara luring lagi pada akhir bulan lalu. Meski belum seramai dulu, semoga di masa mendatang, kegiatan KMD akan kembali diikuti oleh segenap warga dengan antusias.


Saya berpartisipasi dalam lomba pantun KMD. Sayangnya kurang banyak yang like jadi 'nggak menang, deh. Hehehe .... (Sumber: Instagram KMD)


Grup liqo muslimah

Suatu waktu setelah mengikuti Salam Delft seorang teman (mamah gajah juga) mengajak saya untuk bergabung di grup pengajiannya. Tanpa banyak berpikir saya langsung mengiyakan karena tawaran seperti ini tidak datang dua kali, kan? Mungkin juga karena faktor kepercayaan kepada teman lama dan sesama mamah gajah. Hehehe ….

Pengajian ini diadakan setiap dua pekan secara bergiliran di rumah anggota (yang juga ibu-ibu Simpul Muslimah). Kami bergantian tugas untuk menceritakan sirah nabawiyah dan mentadaburi ayat. Sebelumnya kami bergiliran membaca Al-Qur’an. Ada seorang guru yang membersamai kami dalam belajar. Beliau mengoreksi bacaan Al-Qur’an dan mengajarkan tahsin, juga memperdalam pembahasan sirah ataupun ayat.

Komunitas ini istimewa karena kehadirannya mengecas jiwa secara rutin. Bukan hanya karena isinya saja, melainkan juga karena pertemuannya itu sendiri. Setiap bertemu dan meilhat wajah-wajah teduh sahabat, ada perasaan bahagia serta tenang. Saya teringat satu hadis yang berbunyi begini:
 لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali akan dinaungi oleh para Malaikat, diliputi rahmat dan akan turun kepada mereka ketenangan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka di hadapan para makhluk-Nya yang ada di sisi-Nya.

Tentu saja selama pandemi, pengajian lesehan berubah menjadi pertemuan daring. Ini memungkinkan teman yang sudah kembali ke Indonesia (dan yang kemudian pindah ke negara Eropa lain) masih bisa bergabung. Rupanya di balik segala kesulitan yang ditimbulkan oleh pandemi, ada hikmah tersembunyi bagi sebagian orang.

Pertemuan daring juga memungkinkan petugas pengisi sesi sirah dan tadabbur ayat menggunakan salindia presentasi. Ini adalah inovasi yang baru dilakukan pada beberapa pertemuan terakhir. Meski hanya lingkup kecil, persiapannya tidak kalah dari pengisi webinar, lo. Hehehe ….


Sesi tadabur ayat menggunakan salindia presentasi


Yang namanya pengajian, pasti ada makanan. Semangat berbagi sebagaimana di KMD/Simpul Muslimah juga dibawa ke sini. Biasanya masing-masing membawa kudapan atau buah sebagai pengganjal perut sebelum menyantap hidangan makan siang yang disiapkan oleh tuan rumah. Terus terang sistem ini baru untuk saya karena selama di Indonesia, umumnya tamu tinggal datang membawa diri, baik itu di pengajian, acara keluarga, maupun arisan. Tuan rumah menyediakan semua makanan--dan dia juga yang akan bersih-bersih setelah tamu pulang!

Seperti juga kegiatan Salam Delft yang mulai diadakan secara luring, di bulan November ini kami akan kembali bertemu di darat. Meski masih uji coba (sekali luring dan sekali daring), saya sangat menantikan pertemuan tatap muka. Ah, rasanya rindu sekali bisa cipika cipiki, salam, dan bercengkerama dengan para sahabat setelah satu setengah tahun absen. Memang interaksi langsung tak tergantikan, ya.


Rumaisa Sabiila

Berbeda dengan dua komunitas sebelumnya, Rumaisa Sabiila mencakup wilayah yang lebih luas. Sebagaimana namanya, Rumaisa Sabiila (Rumah Muslimah Indonesia di Eropa) mewadahi muslimah Indonesia yang sedang menetap di Eropa untuk menjalin ukhuwah dan berbagi ilmu. Komunitas ini murni berbasis daring karena anggotanya tersebar mulai dari negara-negara Skandinavia di Utara (Norwegia, Finlandia, Swedia) hingga ke Selatan (Spanyol, Italia); dari Barat (UK) hingga ke Timur (Turki). Bahkan ada juga yang berdomisili di Maroko, Cina, dan tentu di Indonesia (biasanya yang sudah kembali ke tanah air).


Akun Instagram Rumaisa Sabiila


Di grup Whatsapp kami berbagi informasi, hikmah, serta pemikiran, bertukar canda, dan saling menularkan semangat. Selama sepekan ada rubrik dengan tema berbeda setiap hari yang diisi oleh anggota. Di hari Kamis ada tilawah bergantian satu juz (One Week One Juz), dilanjutkan dengan kajian yang diisi oleh pemateri yang berbeda setiap pekannya. Ada juga Instagram live rutin di akhir pekan. Tak lupa ada kelas tahsin dan tahfiz bagi anggota yang berminat.

Saat ini Rumaisa juga sedang mengadakan Kelas Halal Haram Eropa demi menjawab kegalauan dan memberikan pemahaman terkait kehalalan produk. Di Eropa muslim harus berupaya ekstra untuk memastikan apa yang ia konsumsi dan pakai adalah produk halal. Tidak semudah muslim Indonesia yang tinggal mengecek keberadaan label halal dari MUI.

Selain berinteraksi secara internal sesama anggota di grup Whatsapp dan Zoom, kami memperluas lingkup manfaat melalui media sosial (Instagram, Facebook, dan YouTube). Kamu bisa membaca beragam pos di Instagram @rumaisa.sabiila dan Facebook Rumaisa Sabiila. Selain itu, kamu juga bisa memutar rekaman kajian yang pernah diadakan oleh Rumaisa di kanal YouTube Rumaisa Sabiila.


Kanal YouTube Rumaisa Sabiila

Di kepengurusan tahun ini saya bergabung di tim media dan dakwah. Walau tidak jauh-jauh dari menyunting dan membuat tulisan, saya ikut belajar soal desain, copywriting, serta social media engagement juga, lo. Ternyata makin diulik, makin seru! Semoga apa yang dipos di media sosial Rumaisa bermanfaat bagi para muslimah di mana pun berada. Langsung follow dan subscribe, ya! #iklanlewat


Penutup

Bagi kami yang saat ini hidup di tengah minoritas muslim, komunitas berlandaskan kesamaan iman dan bangsa (Indonesia) laksana oase di tengah gurun. Setiap anggota komunitas serupa saudara yang saling menguatkan dan mengingatkan. Walau belum pernah bertemu langsung seperti di Rumaisa Sabiila, kedekatan di antara anggota tetap terasa.

Terinspirasi dari Ibu Septi (pendiri komunitas Ibu Profesional), kita bergabung di satu komunitas untuk memenuhi kebutuhan mencari diri dan melihat peran di sekitar kita. Saat berada di dalamnya, kita harus memastikan bahwa kita bertumbuh. Bila tidak demikian, sebenarnya komunitas itu bukan tempat yang baik untuk kita.

Lantas, dari mana rasa cinta terhadap komunitas muncul? Juga menurut beliau, ini adalah buah dari cara berpikir: kita yang memerlukan komunitas untuk bertumbuh, meningkatkan kualitas peran sebagai perempuan, istri, dan ibu, bukan sebaliknya. Dengan demikian, kita mulai mencintai yang kita perlukan (komunitas) dengan rasa cinta tanpa pamrih, tanpa alasan, tanpa "tapi".

Rasa cinta terhadap KMD/Simpul Muslimah Delft, grup liqo muslimah, dan Rumaisa Sabiila inilah yang membuat saya menuliskannya untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang "Komunitas yang Aku Cintai". Kalau kamu bagaimana? Komunitas apa yang kamu cintai?





Post a Comment

2 Comments

  1. Masya Allah, keren banget teh. Baru tahu ada komunitas2 ini. Inspiratif

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masya Allah, alhamdulillah, Teh.. Selama di sini jadi ga "kering". Langsung follow medsosnya ya, Teh #teteupusaha hihi...

      Delete